How to Avoid Death on a Daily Basis – Chapter 9: Membentuk Party

Kami kembali duduk, terlihat seperti pengungsi dari toko Oxfam. Kapten Grayson sekali lagi duduk di tepi meja.

“Ada pertanyaan lain?”

Tidak ada yang membuka mulut. Mungkin bukan karena mereka tidak punya pertanyaan, namun karena orang-orang sudah lelah. Tidak ada yang masuk akal dan satu-satunya pertanyaan yang sangat berarti telah dijawab dengan satu penolakan yang tegas. Kami tidak dapat pulang ke rumah.

“Pasukanku sedang mempersiapkan makanan untuk kalian, namun kami tidak mengharapkan jumlah kalian sebanyak ini, jadi akan butuh waktu lebih lama. Yang kusarankan pada kalian adalah bentuklah kelompok-kelompok kecil dan berkeliling desa. Ini adalah tempat kecil yang awalnya dibangun untuk membantu Pendatang seperti kalian. Penduduk sini cukup ramah, namun ingat bahwa mereka semua membawa senjata, jadi tetap sopan dan jangan memulai masalah. Kalian mungkin akan punya gambaran apa yang diharapkan dari kalian setelah kalian melihat lebih banyak disini. Kami akan membunyikan bel ketika makanan siap.”

Orang-orang mulai berdiri dan membentuk kelompok. Aku tetap duduk dan menggerakkan tangan di depanku bermain whack-a-mole imajiner, mencoba merasakan adanya interaksi virtual. Aku tidak dapat menyingkirkan pikiran bahwa ini hanyalah sebuah game. Kalau aku bisa mengakses layar status, mungkin aku bisa mencari tahu apa yang harus kulakukan untuk naik level.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Maurice.

“Aku mencari cara untuk mengakses layar antarmuka.” Aku terus memencet udara.

“Kau benar-benar berpikir ini adalah game?”

“Yep.” Aku tidak ragu, walaupun aku masih belum menemukan bukti nyatanya.

Maurice melihat sekeliling, masih memicingkan mata walaupun dia sudah memakai kacamata. “Kurasa tidak ada teknologi yang mampu membuat grafis senyata ini.”

“Aku juga berpikir ogre tidak benar-benar nyata,” balasku.

“Poin yang bagus. Sepertinya semua orang pergi.”
Tidak beruntung dengan mengklik apapun, aku memutuskan bahwa mungkin aku harus berkeliling desa. Orang-orang yang tersisa di ruangan hanya lelaki berwajah merah yang melipat tangannya dan memandang langit-langit ruangan, dan dua gadis yang duduk bersandingan. Satu gadis sedikit montok dengan wajah bundar yang membuatnya terlihat lebih gendut dari aslinya. Yang lain sangat kurus dan hampir terlihat cantik kalau bukan karena hidung besarnya.

Catatan samping: mungkin kelihatannya aku adalah bocah sexist yang hanya melihat wanita dari penampilannya, namun kurasa aku tidak memperlakukan wanita seolah mereka lebih rendah. Aku melihat apa yang kulihat. Aku tidak akan berpura-pura seakan aku orang bodoh dari Zaman Baru yang melihat semua kehidupan seperti permadani kecantikan yang serupa. Hal pertama yang kulihat dari Maurice adalah bahwa dia hitam – dan itu tanpa mempertimbangkan baju Batmannya. Apakah itu membuatku rasis? Kurasa artinya adalah bahwa mataku bekerja. Silahkan nilai aku sesuka kalian.

Aku berjalan menuju pintu dan gadis dengan hidung besar berdiri.

“Tidakkah kau pikir kita harus membentuk kelompok?” nada kalimatnya seakan dia menuduh kami.

SIal, aku hampir saja sampai di pintu. Aku berhenti dan berputar. “Er, apa kau bicara denganku?”

“Aku tahu, oke?” Dia terlihat cukup marah. Padaku terutama. “Kita orang-orang yang tidak diinginkan siapapun. Pecundang. Alasan lain kita harus tetap bersama. Atau kau hanyalah bangsat lain yang mau meninggalkan dua gadis sendirian di LUBANG SIALAN INI!”

Ledakan di akhir kalimat membuatku sedikit mundur. Aku tidak benar-benar paham bagaimana menghadapi wanita yang marah, yang mana aneh karena ibuku selalu seperti itu di sepanjang masa kecilku, jadi kau pikir aku pasti sudah terbiasa. Namun kemudian, mungkin itulah mengapa sikapnya membuatku bingung. Kalau kau kembali marah mereka akan menaikkan volume, tiga kali lipat. Kalau kau mencoba berbicara lemah lembut, mereka tetap marah karena kau tidak serius menanggapi mereka. Dulu di tahun 1950-an kau bisa menampar wanita yang marah dan dia akan berterimakasih padamu telah menyadarkannya. Coba tampar mereka sekarang dan kau mungkin mendapat respon yang sedikit berbeda.

“Aku tidak tahu kenapa kau sangat marah padaku, kupikir kau bukan pecundang. Kalau aku tidak terlihat ramah itu karena aku kesulitan berbicara dengan orang lain, terutama dalam kelompok besar. Aku akan berkeliling. Kalau kau ingin ikut, tidak ada yang akan menghentikanmu.”
Aku berjalan keluar bersama Maurice dan dua gadis itu mengekor di belakangku. Lelaki-penatap-langit-langit berdiri dan ikut bergabung bersama kami. Inikah kelompokku? Aku harus membuang pecundang-pecundang ini secepat mungkin.

< Chapter 8

Chapter 10 >

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑